Peran Asesmen dalam Pembelajaran: Pro-Kontra Pemberlakuan Kembali Ujian Nasional dan Perbandingan dengan Asesmen Level Internasional
![](https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/s1psains/thumbnail/18bc3545-570b-42c8-ba16-23636a921757.png)
Surabaya - Asesmen merupakan komponen penting dalam pendidikan. Fungsinya mencakup evaluasi hasil belajar, identifikasi kebutuhan siswa, hingga pengembangan kurikulum. Di Indonesia, Ujian Nasional (UN) menjadi topik perdebatan panjang, baik karena manfaat maupun kontroversinya. Artikel ini membahas peran asesmen dalam pembelajaran, pro-kontra UN, dan perbandingannya dengan sistem internasional seperti A-Level dan O-Level.
Pentingnya Asesmen dalam Pembelajaran
Asesmen membantu guru dan siswa memahami pencapaian belajar. Ada dua jenis utama asesmen:
- Asesmen Formatif: Digunakan selama proses belajar untuk memberikan umpan balik, membantu siswa memperbaiki pemahaman.
- Asesmen Sumatif: Digunakan pada akhir proses belajar untuk mengukur hasil akhir, seperti UN di Indonesia.
Selain itu, asesmen juga berfungsi memetakan standar pendidikan, memberikan gambaran kesiapan siswa, serta membantu penyusunan kebijakan pendidikan.
Pro-Kontra Ujian Nasional (UN)
Ujian Nasional telah menjadi metode evaluasi hasil belajar skala besar di Indonesia. Namun, pelaksanaannya menuai berbagai respons.
Pro-UN:
- Standarisasi Nasional: UN membantu pemerintah mengukur kualitas pendidikan secara merata di seluruh Indonesia.
- Motivasi Belajar: UN sering dianggap meningkatkan semangat siswa untuk belajar.
- Pemetaan Mutu Pendidikan: Hasil UN menjadi basis bagi evaluasi kualitas sekolah dan daerah.
Kontra-UN:
- Tekanan Psikologis: Banyak siswa merasa tertekan karena hasil UN dianggap menentukan masa depan mereka.
- Pembelajaran yang Berorientasi Hasil: Fokus pada lulus UN sering kali mengurangi eksplorasi pembelajaran yang bermakna.
- Ketimpangan Akses: Siswa dari daerah dengan akses pendidikan terbatas sering kali berada pada posisi yang kurang menguntungkan.
Alternatif Internasional: A-Level dan O-Level
Sistem A-Level dan O-Level diadopsi oleh banyak negara, terutama di bawah sistem pendidikan Inggris. Kedua sistem ini memberikan fleksibilitas dibandingkan UN.
O-Level (Ordinary Level):
- Diambil oleh siswa berusia 14–16 tahun.
- Menilai pemahaman dasar dalam berbagai subjek.
- Memungkinkan siswa fokus pada beberapa mata pelajaran sesuai minat.
A-Level (Advanced Level):
- Diambil oleh siswa berusia 16–18 tahun.
- Berfungsi sebagai prasyarat masuk universitas.
- Memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap mata pelajaran tertentu.
Perbandingan: UN vs. A-Level dan O-Level
- Konteks Lokal vs. Global: UN berfokus pada standarisasi nasional, sementara O-Level dan A-Level dirancang untuk memenuhi kebutuhan internasional.
- Fleksibilitas: A-Level dan O-Level memungkinkan siswa memilih mata pelajaran yang diminati, sedangkan UN memiliki format tetap.
- Pendekatan Penilaian: A-Level menekankan pemikiran kritis dan analisis mendalam, sedangkan UN cenderung berorientasi pada hafalan dan standar yang seragam.
Mengintegrasikan Asesmen Berbasis Konteks
Sebagai alternatif UN, asesmen berbasis konteks dapat diterapkan. Pendekatan ini menghubungkan penilaian dengan situasi dunia nyata sehingga siswa belajar lebih relevan dan aplikatif. Misalnya, studi kasus atau proyek berbasis masalah yang menilai kemampuan berpikir kritis dan kreativitas.
Asesmen memiliki peran penting dalam pendidikan, baik dalam evaluasi hasil belajar maupun pengembangan kompetensi siswa. UN memiliki kelebihan dalam standarisasi, tetapi menghadapi kritik karena kurangnya fleksibilitas. Dengan mengadopsi praktik terbaik seperti A-Level dan O-Level, serta mengintegrasikan asesmen berbasis konteks, sistem pendidikan Indonesia dapat menciptakan proses pembelajaran yang lebih bermakna dan relevan.