Zonasi Sekolah dalam Penerimaan Siswa Baru: Sejarah, Pro, dan Kontra
![](https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/s1psains/thumbnail/ad8f067e-ea27-4df6-a711-07b7e106f555.png)
Surabaya - Permintaan Wakil Presiden RI untuk menghapus sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi perbincangan hangat, dengan alasan sistem ini memerlukan evaluasi menyeluruh. Sistem zonasi sekolah, yang mulai diterapkan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia sejak 2017, telah menjadi topik diskusi yang hangat. Kebijakan ini bertujuan menciptakan akses pendidikan yang merata bagi semua anak tanpa memandang latar belakang sosial-ekonomi. Namun, implementasinya tidak lepas dari pro dan kontra. Dalam artikel ini, kita akan membahas sejarah penerapan zonasi sekolah, manfaat dan tantangannya, serta bagaimana kebijakan ini memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia.
Sejarah Zonasi Sekolah
Kebijakan zonasi lahir dari kebutuhan untuk mengatasi ketimpangan akses pendidikan antara sekolah favorit dan sekolah lain. Sebelum zonasi diterapkan, orang tua cenderung berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah dengan reputasi terbaik, yang sering kali hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Pemerintah melalui Permendikbud No. 14 Tahun 2018 tentang PPDB meresmikan sistem zonasi untuk memastikan setiap anak memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan berkualitas di sekolah terdekat.
Penerapan zonasi juga mengacu pada prinsip pendidikan inklusif yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dan mendukung pemerataan kualitas sekolah di seluruh daerah. Melalui kebijakan ini, diharapkan masyarakat tidak lagi terfokus pada sekolah unggulan saja, melainkan turut mengembangkan potensi sekolah-sekolah lain.
Manfaat Zonasi Sekolah
1. Pemerataan Akses Pendidikan: Zonasi sekolah memastikan siswa diterima berdasarkan jarak tempat tinggal dari sekolah, bukan berdasarkan nilai akademik semata. Hal ini mempermudah siswa dari kalangan kurang mampu untuk memperoleh pendidikan berkualitas tanpa harus bersaing secara finansial.
2. Penghapusan Stigma Sekolah Favorit: Dengan sistem zonasi, pembagian siswa tidak lagi terpusat di beberapa sekolah tertentu. Ini mendorong sekolah yang dulunya kurang diminati untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
3. Mendekatkan Siswa ke Sekolah: Dengan belajar di sekolah terdekat, siswa tidak perlu menempuh perjalanan jauh, yang berkontribusi pada penghematan biaya transportasi dan waktu.
4. Meningkatkan Pemerataan Kualitas Guru: Zonasi mendorong pemerintah untuk mendistribusikan guru berkualitas secara merata, sehingga semua sekolah memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
Kritik dan Kontra terhadap Zonasi Sekolah
1. Ketimpangan Kualitas Sekolah: Meskipun zonasi bertujuan pemerataan, kenyataannya banyak sekolah di Indonesia masih kekurangan fasilitas dan tenaga pendidik berkualitas. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan bagi siswa yang ditempatkan di sekolah yang dinilai kurang baik.
2. Minimnya Fleksibilitas: Orang tua merasa kehilangan hak untuk memilih sekolah terbaik bagi anak-anak mereka. Hal ini memunculkan kritik bahwa sistem zonasi mengurangi kebebasan individu.
3. Praktik Curang dalam Domisili: Beberapa pihak memanipulasi alamat tempat tinggal untuk mendapatkan akses ke sekolah tertentu. Fenomena ini menunjukkan tantangan teknis dalam penerapan kebijakan zonasi.
4. Kurangnya Sosialisasi: Banyak orang tua dan masyarakat yang kurang memahami tujuan dan mekanisme zonasi, sehingga menimbulkan resistensi terhadap kebijakan ini.
Perbandingan dengan Sistem Lain: A-Level dan O-Level
Sistem pendidikan di beberapa negara seperti Inggris menggunakan pendekatan berbeda dengan zonasi. Sistem A-Level dan O-Level memberikan penilaian berbasis ujian standar nasional yang diterapkan di semua sekolah. Hal ini memungkinkan siswa menunjukkan kemampuan individu tanpa terikat zona geografis.
Keunggulan A-Level dan O-Level:
1. Penilaian Objektif: Standar yang sama diterapkan secara nasional, sehingga siswa bersaing berdasarkan kemampuan.
2. Kebebasan Memilih Sekolah: Siswa dapat memilih sekolah yang dianggap paling cocok dengan minat dan bakatnya.
Namun, pendekatan ini juga memiliki kekurangan, terutama dalam mendukung inklusivitas dan pemerataan akses. Sistem zonasi di Indonesia justru berusaha memastikan bahwa setiap siswa memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan pendidikan, tanpa dibatasi oleh kondisi sosial atau ekonomi.
Saat ini, Kementerian Pendidikan masih mengkaji ulang kebijakan tersebut, dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak. Jika zonasi dihapus, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh sekolah memiliki standar mutu yang setara. Program revitalisasi sekolah, peningkatan kualitas guru, serta penyediaan fasilitas pendidikan yang merata menjadi solusi yang layak.
Ke depan, perubahan sistem PPDB perlu mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak. Baik mempertahankan, merevisi, atau menghapus zonasi, tujuannya tetap harus pada pemerataan akses pendidikan berkualitas bagi seluruh siswa.